AURORA
PART II
Aku lebih suka sunyi. Berteman rak-rak buku dan laptop pemberian Mama kado ulang tahunku ke 19. Sunyi adalah keramaian dalam hidupku. Ramai tidak riuh dan saling ganggu. Hangat sinar matahari dari celah jendela perpustakaan adalah teman saat tidak ada jam kuliah.
Aku selalu ke kampus setiap hari, kecuali hari minggu. Meskipun tidak ada jadwal kuliah. Tujuanku adalah perpustakaan Universitas. Disini aku bebas menikmati duniaku. Tidak ada yang mengganggu. Tenangnya suasana perpustakaan membuatku nyaman. Ada banyak orang duduk di kursi-kursi perpustakaan berkutat dengan tumpukan buku-buku dan jemari riang diatas tuts laptop. Sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan. Pemandangan ini kunikmati setiap hari.
Aku suka perpustakaan, bukan berarti aku si kutu buku dan anak pintar. Aku suka disini karena membuatku nyaman, adem dan tenang. Aku merasa berada di dunia yang aku sukai, itu saja. Berbeda dengan teman ajaibku, Mia. Ia lebih suka berada di pusat perbelanjaan. Berinteraksi dengan banyak orang dan mengamati trend fashion. Mia yang ajaib, Mahasiswi Psikologi dan desainer handal.
^^
Aku tak mengingat pasti kapan mulai menyukai perpustakaan dan buku-buku. Sukaku pada buku dan perpustakaan bukan dimulai saat bertemu dengan lelaki hujan, bukan. Jauh sebelum itu aku sudah menyukai buku dan perpustakaan. Mungkin sukaku ini dimulai sejak kecil. karena Mama membuat mini perpustakaan dirumah, mengajakku ke toko buku dan perpustakaan. Bidang Mama selalu membutuhkan riset dan teori-teori yang tidak kumengerti. Sejak masuk Psikologilah aku mulai paham alasan Mama membuat mini perpustakaan di rumah, mengajakku ke toko buku dan megunjungi perpustakaan. Mama adalah Psikiater ternama di kota ini.
Saat Mama berangkat ke syurga, banyak yang kehilangan sosoknya. Tapi yang lebih kehilangan adalah aku, Aurora. Tidak ada lagi yang menemani hari-hariku, mengisahkan ajaibnya negeri dongeng, atau temanku menikmati green tea saat turun hujan. Sementara Ayah hanya punya waktu hari sabtu  dan minggu per dua minggu sekali, karena pekerjaannya mengharuskan tugas keluar kota.
Duniaku semakin sepi sejak kepergian Mama. Percakapan dengan Ayah pun jarang dilakukan. Mungkin karena tidak setiap hari bertemu, juga karena kesibukannya. Aku tahu dan paham, dalam diamnya Ayah selalu mengawasi dan memperhatikan. Misalnya saat aku di kampus, Mbok Dar menelpon Ayah melaporkan kegiatan dan kondisiku. Aku tahu hal ini karena dulu aku memasang alat perekam di dapur, dekat telpon rumah. Dari situ aku mengetahui bentuk perhatian Ayah padaku.
Aku pun bersyukur dengan kehadiran Mbok Dar di rumah ini. setidaknya aku tak sendiri lagi. Mbok Dar juga ajaib seperti Mia. Beliau pandai memasak, masakannya selalu enak seperti masakan Mama. Mungkinkah Mbok Dar reinkarnasi Mama?. Ah, ngaco kau Aurora!. Reinkarnasi hanya nyata dalam dongeng yang kau cipta.
“Aurora kok melamun?”. Tegur Mbok Dar. Beliau berada di ambang pintu kamarku, membawa nampan berisi secangkir green tea hangat dan kue cincin yang diceritakan kemarin sore.
“Mbok Dar, Masuk Mbok”. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Wajah tuanya selalu berseri dengan senyum khasnya.
“sedang menikmati apa dari balik jendela itu?, mending langsung lihat keluar, pemandangannya lebih bagus, lebih luas. Bikin puas mata memandang”. Beliau meletakkan nampan dimeja belajarku, lalu menepuk lembut pundakku.
“menikmati cahaya Mbok, kangen Mama juga”. Aku meremas tangannya dipundaku. Betapa kesepiannya tangan tua ini sejak kepergian suaminya. Mbok Dar tidak memiliki anak. “kalau kangen Mama, doakan beliau Nak, Mama itu sebenarnya selalu disini, dihati Aurora. Mama gak pernah pergi”. Mbok Dar tersenyum memandangku. “iya Mbok, Mama gak pernah pergi”. Aku membalas senyumnya.
Hujan tiba-tiba mengguyur langit sore. Mbok Dar sudah kembali ke dapur. Entah mengapa tiba-tiba hujan mengguyur, padahal tadi panas. Kunikmati green tea buatan Mbok Dar, rasanya pas. Tidak terlalu manis dan tidak panas, menyisakan sensasi hangat dalam mulut. Aku ingat seseorang pernah berkata “mengalahlah pada panas, maka kau akan mendapati hangat untuk kemudian bisa dinikmati kenikmatannya[1]”. Aku tersenyum dan menyeruput green tea, guyuran hujan menderas dibalik jendela.
Tentang Kue cincin buatan Mbok Dar. Menurut cerita beliau kue ini berasal dari daerah Kalimantan, kue khas masyarakat Banjar. Membuat kue ini butuh waktu cukup lama. Mbok Dar membuat adonannya tadi malam usai makan malam bersamaku. Aku hanya boleh mengamati , tidak boleh membantunya.
Tidak ribet sih, bahan-bahannya juga mudah didapat. Hanya proses mendiamkan adonannya cukup lama, sekitar enam sampai delapan jam baru bisa dicetak dan digoreng.
Mbok Dar sangat tahu seleraku. Tidak suka manis, tapi penyuka asin. Awal mula dirumah ini Mbok Dar heran dengan seleraku, karena saat makan aku selalu mencari garam halus yang kutambahkan sendiri ke piring makanku. Sekarang pun sama, masakan Mbok Dar kurang asin menurutku. Tapi aku memberitahunya agar tingkat asin makanan itu sesuai standar Mbok Dar, nanti aku menambahkan garam sendiri dipiring saat makan. Gantinya, aku meminta disediakan garam halus dan kecap asin di meja makan.
^^
Tentang Mbok Dar.
Tiga bulan setelah kepergian Mama, beliau datang kerumah ini. tepatnya Ayah yang membawa dari kampung halaman beliau. Menurut cerita Ayah, Ayah bertemu dengan Mbok Dar saat Ayah ada tugas survey lokasi di kampung Mbok Dar. Saat itu Ayah bingung mencari alamat kepala desa. Dan kebetulan bertemu dengan Mbok Dar yang berjualan kue keliling. Karena Ayah lapar, maka Ayah memanggil Mbok Dar untuk membeli kue jualannya dan menanyakan alamat kepala desa padanya.
Sambil menikmati kue Mbok Dar, Ayah menanyakan mengapa beliau tetap berjualan diusia senjanya. Mbok Dar menjawab, Beliau jualan ini mengambil dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mbok Dar tiggal seorang diri sejak kepergian suaminya. Tidak punya anak, tidak ada harta peninggalan almarhum suaminya selain sebuah rumah sederhana yang beliau tinggali sekarang. Beliau tidak mau mengemis kepada orang lain selama mampu berusaha.
Usai tugas survey dengan kepala desa, Ayah menanyakan identitas Mbok Dar kepada kepala desa. Dan kepala desa itu membenarkan cerita Ayah mengenai Mbok Dar. Kemudian Ayah membawa Mbok Dar kerumah ini, menjadi teman baruku.
Walaupun Mbok Dar tak selihai Mama saat bercerita ajaibnya Negeri dongeng, tapi Mbok Dar cukup menghiburku dalam segala keadaan. Saat aku kesepian ditinggal Ayah tugas keluar kota, saat hujan turun, saat aku membutuhkan solusi dan berbagi cerita. Mbok Dar selalu ada disampingku. Aku berterimakasih pada Ayah, sebab Ayah memberiku teman seajaib Mbok Dar.
^^




[1] Kutipan dialog dalam short movie  CINT(eh)A - @LongDistance_R. take! Video & photography.

Komentar

Postingan Populer